aku masih ingin disini, masih ingin menginjakkan kaki di rumah ini. aku
masih ingin disini, sampai senja menua dan berpulang lalu terbit lagi. aku
enggan meninggalkan rumah kesayanganku. walau ukurannya yang mini tapi kasih
sayang ibu yang ada di dalamnya tak terhitung berapa luasnya. aku masih ingin
menikmati indahnya matahari saat membiaskan cahaya kuning dari celah jendela
kamarku. Indah, sangat indah. menurutku. Tapi, semua itu tidak lagi bisa ku
lakukan.
"kenapa, ibu ingin aku pergi? tanya ku dengan nada terisak.
ibu tidak menjawab hanya menatapku dengan tatapan nanar penuh kesenduan.
"ibu benci pada ahsan? lagi-lagi ibu hanya diam. seperti memikirkan
sesuatu yang sulit untuk di ucapkan.
aku masih terisak di pangkuan ibu, seperti seorang anak gadis yang sedang
mengadu pada ibunya. dan bertanya dengan pertanyaan yang tidak ingin di jawab
olehnya.
ibu mengelus-elus kepalaku seraya menenangkan aku. "bu, aku tidak mau
pergi!." aku tidak mengerti dengan sikap ibu yang sedari tadi diam.
dia hanya diam. diam dengan air mata yang kadang-kadang jatuh membasahi
pipinya.
aku ingat kata ibu semasa aku kecil. "kamu adalah anak laki-laki yang
sangat ibu dan ayah rindukan". ayah bilang "kamu adalah jagoan
ayah" sambil mengendongku di pundak saat bermain-main di taman belakang
rumah. ayah memberiku nama dengan sebutan Ahsan. artinya "yang
terbaik". ayah ingin aku memberikan yang terbaik untuk keluargaku. untuk
ayah, ibu dan saudara perempuanku.
"semoga kamu jadi anak yang bisa membanggakan ayah dan ibu" kata
ayah saat bermain-main di taman belakang rumah.
aku anak laki satu-satunya di keluargaku. anak yang sangat di harapakan,
kata saudara perempuanku.
aku tumbuh dan besar dengan kasih sayang yang melimpah. apapun keinginanku
selalu di penuhi. tapi kenapa saat ini aku seperti terusir dari keluarga yang
mengaku sangat mengharapkan kehadiranku??
aku masih terisak di pangkuan ibu. masih dengan pertanyaan yang enggan di
jawab ibu. "bu. ayah benci ya sama ahsan?. pertanyaan itu membuat aku
ingat kapan terakhir ayah memanggil aku dengan sebutan "nak".
"kau sudah mempermalukan ayah. kau membuat keluarga ini malu!!" ayah
menghampiri kami dan membentak . ayah menarik lenganku. berusaha melepaskan aku
dari pangkuan ibu. "ayah tidak boleh bilang seperti itu, dia anak kita!"
ibu membelaku. aku berontak. plaaakk. ayah menamparku. memberi bekas yang cukup
merah pada pipiku yang lembut.
"kau ini laki-laki. bukan perempuan!" ayah mengingatkan aku dengan
nada penuh amarah.
siapa yang akan aku salahkan. jika aku terlahir berkelamin laki-laki tapi
beraut wajah selembut perempuan. aku tidak tau kapan terakhir aku ingat, aku
adalah laki-laki bukan perempuan. semua berjalan tanpa ku sadari. bahkan ayahku
sadari.
ayah memperlakukan aku layaknya lelaki. tapi, kapan aku menyadari aku lebih
senang hidup seperti perempuan. aku bahkan tak menyadarinya.
aku ingat, saat aku duduk di bangku SMP aku lebih senang berteman dengan
anak perempuan di banding dengan anak laki-laki. menurutku anak perempuan lebih
bisa di ajak bermain dari pada anak laki-laki yang senangnya mengganggu
anak-anak perempuan.
ayah curiga bahwa aku tumbuh tidak sewajarnya, saat ayah menangkap basah
koleksi pakaianku yang banyak bermotif bunga-bunga, rok mini yang kekecilan,
sepatu high heels yang terpajang rapi di lemari kamarku. pakaian yang tak bisa
aku pakai dengan bebas.
ayah melempar pakaianku. menyuruhku pergi sejauh mungkin agar keluargaku
tidak terkena sial. itu kata ayah. "keluar dari rumah ini!!, tidak ada
orang yang ingin mendapat musibah di rumah ini!" ayah membentak.
ibu tak berkata sepatah kata pun. dia menangis penuh kepiluan. aku melepas
genggaman ibu, merapikan pakainku yang berserakan di lantai. aku menatap ibu
tanpa sepatah katapun keluar dari bibirku.
"ayah, maafkan saya." kataku dengan nada lirih tanpa penyesalan.
aku pergi meninggalkan ayah dengan kemarahan yang sangat jelas terlihat di
wajahnya. aku berjalan gontai. meninggalkan dua orang yang sangat aku cintai.
aku lunglai. sisa-sisa air mata masih membekas di wajahku. apalagi bekas
telapak tangan ayah. memar. sekarang aku tak bisa lagi melihat matahari
membiaskan cahaya kuning dari celah jendela kamarku. aku tak bisa lagi
menikmati senja yang akan beranjak menjemput malam. jingga yang selalu ku nanti
saat senja akan beranjak tak lagi akan menyapaku.
aku berjalan membiarkan kaki membawaku jauh dari tatapan sinis orang-orang
sekitar tempat tinggalku. tatapan mencibir, sinis dan entahlah tatapan-tatapan
apa itu.
aku tau, Dia Adil. Dia tidak akan membuat aku terlunta-lunta dalam duniaku
sendiri.dengan keadaan tanpa kebebasan. aku terus berjalan di panasnya terik
matahari. membiarkan angin menuntunku.
matahari makin pekat menjilati kulitku. peluh berjatuhan membasahi kening
yang tertutup poni. angin sepoi berhembus menyapu peluhku.
aku tak ingin menghiraukan pendapat orang lain tentang hidupku. siapa yang
peduli, toh hidupku aku yang jalani bukan kamu atau siapapun. aku merasa bebas
setelah keluar dari rumah tempat dua orang yang ku cinta menetap. tapi disisi
lain aku menangis, bagaimana aku akan hidup di dunia yang memperlakukan aku
dengan sangat kejam.
"dimana keadilan itu. Tuhan?, aku tau Kau Maha Adil!" aku
membatin.
mungkin aku akan terus menjdi sasaran tatapan tidak bersahabat oleh
mata-mata yang menganggap diri mereka suci. tapi aku tidak peduli. inilah
hidupku. aku akan menjalani sisa-sisa hidupku sendirian tanpa siapapun, bahkan
jika Tuhan tak ingin mengakuiku sebagai ciptaannya yang gagal. seperti
kebanyakan mata yang menganggap aku hanya seorang yang tak pantas untuk
menegakkan kaki di bumi ini.
*
Aku tak tau sampai di mana kaki ini akan berhenti. Ya, sampai aku bertemu dengan orang yang bernasib sama sepertiku.
Lelah aku berjalan dan aku menemukan tempat dimana orang orang sepertiku berdiam.
"u boleh tinggal disini" kata mery. seorang yang tak jauh beda
denganku. seorang yang sangat mengerti keadaanku. seseorang yang aku kenal tak
sengaja di pelataran hotel kumuh tempat biasa dia menghabiskan malamnya.
mery yang telah lama mengecap kejamnya kota yang cantik ini. dandanannya
yang mungkin akan menjadi bahan cemoohan mata yang melihatnya. bibir merah
merona, bersepatu high heels, rok mini yang kekecilan dengan gaya kewanitaan
yang gemulai.
"takdir kita sama, aku pernah merasakan hal yang sama seperti u, kita
sekarang bebas, eike bebas u juga bebas" katanya dengan logat khasnya yang
keperempuanan.
sebenarnya kebebasan itu memang milik semua orang, bahkan kebebasan itu
milikku juga. aku bebas berbuat apa-saja selama itu tak merugikan orang lain. aku
bebas , seperti burung yang terlepas dari sarangnya. lalu terbang
kemanapun yang di inginkan.
aku akan tetap menjadi aku. aku bebas memilih hidup yang aku inginkan.
bahkan menjadi sosok wanita walaupun berkelamin laki-laki. toh laki-laki
ataupun perempuan tak ada bedanya. mereka sama di mata Tuhan, sama-sama
manusia. Sama-sama ciptaanNya juga.
dan aku tidak akan menjadi seperti pasir yang mudah tertiup angin. aku
bahkan tak ingin menjadi pagi yang pucat. atau awan yang mendung. aku akan
secerah mentari. atau seperti bulan yang tetap benderang dalam kegelapan malam.
dan jika kalian benci, aku tak akan peduli.
CerMin :: Aku Banci, Kalian Benci
Diposting oleh
trie wahyuni
5 Mei 2015
0 komentar:
Posting Komentar