Aku egois ??

Karena keangkuhanku kau menjauh
Sikap acuhku membuatmu pergi
Kau membuat jarak yang sungguh sangat nyata
hingga batas dinding itu kian terlihat
Sekarang penyesalan itu hanya sia-sia
Hatiku kini  di rundung rindu karenamu
Gelisah hati memikirkanmu
Perhatianmu, senda guraumu, candamu
Sungguh aku menyukainya
Tapi tak lebih dari seorang sahabat yang butuh perhatian
Kini semua itu hilang tak berbekas 
karena egoku, Aku ingin memilikimu
Tapi aku menolak ketika kau memintaku jadi milikmu
Aku egois??
Mungkin benar, aku hanya memikirkan diriku sendiri
Kebahagiaanku, dan menyingkirkan keinginanmu
Aku egois?
Iya, aku hanya ingin kamu disisiku saat aku tak punya siapa-siapa
Dan aku membiarkanmu pergi ketika seseorang yang aku inginkan kembali padaku.
hanya kata maaf yang bisa aku lontarkan
Aku tau kau pun tak bisa lagi mendengar kata maaf dariku
Kini kau benar-benar hilang dari pelupuk mataku
Kau telah pergi menjauh dariku
Hingga aku tak tau ke bumi bagian mana engkau saat ini.

Cermin :: Akhir Sebuah Cerita

Langit malam masih tampak indah dengan hiasan bintang warna-warni disetiap sisinya. Namun, hatiku saat ini tak seindah malam. Aku diselimuti rasa gundah dan gelisah yang dibuat oleh pikiranku. Mungkin, aku harus melupakan sosok indah itu. Bayangnya selalu mengiang dikepalaku dikala aku sendiri.

melupakanmu adalah hal yang terbaik untukku. Separuh pikiranku telah kau curi untuk membayangkanmu. Kau selalu terbayang dalam benakku. Tapi kamu memilih pergi. Namun, kau tetap ada bersemayan indah dalam kalbuku. Aku terus mengharapkanmu. Karena aku ingin bertemu denganmu sekali lagi.
Dan ketika gelap telah menampakkan keindahannya, sunyi dengan setia menyambutku hingga mata ini meleleh membanjiri rusukku. Sekali lagi, pikiranku mempermainkanku. Aku selalu dihadapakn pada perkara hati yang belum tentu membuatku tersenyum. Dan lagi, perasaan ini memperlakukanku dengan begitu manis ketika luka yang sengaja dibuatkan padaku.

“begitu bodohnya menanti mentari melambaikan senyum, seakan itu mampu mencairkan bongkahan es yang menyelimuti kisi-kisi hati. Bahkan berpikiran akan menjadi kolam ketika semua bongkahan es itu remuk oleh sengatan senyum mentari.” Gumamku lirih. Malam kian larut. Namun, mata ini tetap terjaga dalam dingin. Masih bermain dengan remangnya bintang di langit. Ku paksa mata ini terpejam. Ku paksa raga ini bersiap menapaki alam mimpi.
*
Aku masih tenggelam dalam sedihku. Walau fajar telah menyapaku. Dan daun masih juga terlelap hangat terselimuti embun. Aku belum mampu menghapus sosok itu dari kepalaku. Seseorang yang pernah mengisi kekosongan hatiku. Ku paksa tubuhku bangkit dan beranjak dari kasur empuk menuju kamar mandi. Ku basuh wajah sendu semalamku. Ku tatap di sebilah cermin. Ku tatap seksama inci demi inci wajah senduku. Tak ku lihat ada keceriaan di sana.

“inikah aku dengan segala kesedihanku” hatiku lirih

Ku awali pagiku dengan kekesalan. Kesal karena sedih ini terus saja mengikutiku. Tapi aku berpura-pura tidak peduli. Aku bersiap diri melakukan aktivitasku hari ini.  Ku langkahkan kakiku untuk bergegas ke kampus dengan terlebih dahulu harus memakai topeng ceria. Topeng yang harus ku perlihatkan pada teman seperjuanganku di kampus. Kampus terlihat ramai oleh mahasiswa yang akan menimba ilmu di sini.  Ku pandang jam yang bertengger di pergelanganku. Masih pukul 8. 15 pagi. Aku masih punya waktu untuk bergabung bersama teman-temanku. Sekedar berbincang atau bergosip ria.

Terlihat keceriaan yang tampak di wajah mereka yang dihiasi senda gurau. Tapi aku, sepertinya hening telah mendekapku erat hingga aku merasa sendiri di keramaian ini.  Jika diibaratkan, mereka seperti ilalang yang menari riang berlenggak-lenggok bersama angin. Sementara aku, seperti rumput yang hanya bisa menyaksikan tarian ilalang yang tak harus berkomentar apa pun.

Aku selalu saja seperti itu. Diam dalam keramaian canda karena sebagian hatiku telah dibungkam oleh sepi. Dan hening mendekap saat tawa disekelilingku. Tak pernah sekalipun ceria menyambangiku setelah kau memutuskan pergi. Tawa meninggalkan sudut jiwaku yang sepi dan membuat tangis begitu mudah menyelam ke dalam mataku. Tangis yang sebisa mungkin ku tahan diantara isak tawa ilalang yang menari di atas keceriaan mereka.

Aku benar-benar kehilangan. Kehilangan sosokmu, senyumku dan keceriaanku. Aku juga tak membagi kisah sedih ini pada siapa pun.  Ku biarkan kisah ini ku nikmati sendiri tanpa harus ada yang tau keadaanku. Tak ada keinginan untuk membuatnya lebih berkesan, selain memoles wajah senduku dengan senyum yang di paksakan.

Aku masih berdiri di samudera rindu. Waktu berjalan sangat cepat. Tak sadar, bintang telah hiasi dinding-dinding malam yang makin larut. Aku duduk di beranda rumahku. Ku pandangi sepotong rembulan. Ingin ku katakan padanya kalau aku sedang merindu. “Aku meridukanmu, dion” hatiku lirih.

“mengapa aku diperlakukan sedemikian rapuh, Tuhan. Kau melibatkanku pada konflik batin yang tak kunjung usai” lirihku dalam hati

Gundah masih saja melekat padaku. Aku tak pernah mencoba mencari tau kenapa kau memutuskan pergi. Ku tatap seksama mawar yang pernah kau titipkan padaku. Mawar yang kini telah layu. Seperti aku yang layu, terus tenggelam dalam badai air mataku. Aku masih berharap kau ada saat ini. Berdiri di hadapanku dan berkata “aku menyesal telah meninggalkan luka dihatimu”. Tapi itu adalah khayalan yang tak pantas aku dapatkan. “Khayalan tingkat nirwana” pikirku

Aku tak pernah punya firasat apa pun ketika kau ingin memutuskan hubungan kita. Malam yang indah, ketika kita duduk berdua di bawah sinar ranum rembulan, hari bahagia menurutku. Kita akan merayakan tiga bulan jadian kita dan  aku harus mendengar kata yang tak ingin aku dengar.

“boleh aku ngomong sesuatu sama kamu” katamu saat itu. Memecah kebisuan kita. Ada nada lirih di setiap ucapanmu.

“tentu saja, boleh” kataku. Ku tatap mata dion. Sepertinya Ada sesuatu yang  mengganjal di hatinya.

“Mmm … sebenarnya aku sangat bahagia bisa bersama dengan mu. Tapi …” dion menggantung omongannya dan mencoba menghela napas. Dia seakan sulit melanjutkannya, membuatku tidak mengerti dengan sikap yang ia tunjukkan.

“Tapi? sebenarnya apa yang ingin kamu bilang ke aku” aku memotong omongan dion sebelum ia menyambung omongannya kembali. aku menangkap sesuatu yang berbeda malam itu. Aku tak pernah melihat dion seserius ini.

“kita …”. Dion menguatkan hatinya. Dia kembali menggantung omongannya seakan tertahan disela-sela kerongkongannya.

“kita? sebenarnya kamu ingin ngomong apa?” tanyaku penasaran. Ada rasa yang berbeda ketika dion melontarkan kata itu padaku. Aku mencoba menenangkan hatiku sendiri.

“aku bahagia dengan kebersamaan kita. aku senang bersamamu. Tapi kita tak bisa melanjutkan hubungan kita lagi.” Dengan nada terbata dia mengucapkan sesuatu yang langsung membuat hatiku bergejolak. Kamu menghujam hatiku tepat di saat hubungan kita nyaris sempurna.

Aku tidak percaya dengan omongan dion. “kamu bercanda kan?” sepertinya sembilu telah mengiris-iris hatiku. aku mencoba menenangkan hatiku yang nyaris hancur. Aku tersenyum di antara rasa takut dan cemas.
“aku tak pernah bercanda kalau menyangkut perasaan” ujar dion. aku tau Dion tak pernah main-main kalau menyangkut soal perasaan. “tapi kenapa? Aku buat salah ke kamu?” tanyaku

“nggak… kamu sempurna di mataku. Tapi aku tidak tulus sayang sama kamu, Rin …”

“a… apa…” aku semakin tidak percaya dengan omongan dion. hatiku semakin tak berbentuk. Ada rasa marah dan bingung berkecamuk jadi satu.

“aku nggak mau terus-terusan bohongin kamu. Itu hanya akan menyakitkan kamu”

“tapi aku tak pernah merasa tersakiti. Aku bahagia bersama kamu.” Hampir saja setitik salju meluncur keluar dari dua bola mataku. Tapi sesegera mungkin ku tahan agar tak tampak betapa nyeri hatiku malam itu.

“aku minta maaf, Rin.” Ada nada sendu disetiap ucapannya.

“kenapa … kenapa kamu baru bilang sekarang. Kenapa nggak dari dulu kamu bilang semua ini padaku.” Ada rasa marah yang membuncah padaku seakan rasa marah itu telah sampai diubun-ubun.

“maafkan aku. Rin…”

“cukup. kamu telah berhasil mengoyak hatiku. Sekarang kamu bahagia kan?” setetes hujan telah membanjiri sepasang mataku. Aku beranjak dari dudukku dan bersiap meninggalkan sepotong cintaku yang telah hancur berkeping-keping.

Bila yang tertulis untukku adalah hal terbaik bagimu
kan ku jadikan kau kenangan yang terindah dalam hidupku
namun tak kan mudah bagiku meninggalkan jejak hidupku
yang telah terukir abadi sebagai kenangan yang terindah …

Ponsel yang sedari tadi menemaniku bernyanyi merdu. Memecah semua lamunan sedihku. Kutatap layar hpku. “ada sms.” batinku. Ku baca seksama pesan yang masuk. “kamu tak harus larut dalam kesedihan. Kamu juga tak harus menyianyiakan air matamu meluber membasahi setiap pori kulitmu. Tak perlu mengingat lagi seseorang yang telah sengaja memberi luka pada setiap sisi hatimu yang senantiasa kamu jaga. Kamu juga tak harus meyimpan sendiri semua kekesalan dan kesedihan yang melandamu. Ada aku. Jika kamu masih menjadi sahabatmu. Aku akan menjadi pendengar yang baik untukmu.”

Aku tersentak membaca setiap kata yang dikirim oleh Mira. Walau sebenarnya, kata-kata yang di lempar Mira, cukup menghibur hatiku yang lagi galau. Aku tidak tau mengapa Mira tahu kesedihanku. Dia adalah sahabat kecilku. Aku tidak membalas pesan yang ia kirim.  Bukankah sudah ku bilang, aku tak ingin membagi sedih ini pada siapa pun..
Ku tatap layar hpku. Aku tak tau harus mengetik apa. Tak ada kata apa pun yang ingin melompat dari kepalaku. Hanya tatapan kosong tertuju pada layar putih hp yang ada di genggamanku. Belum sempat aku mengetik beberapa kata untuk membalas smsnya. Sosok Mira terlihat berdiri depan pagar. dia mencoba membuka pagar yang berdiri kokoh di depan rumahku. Dia memanggilku berharap aku membukakan pintu untuknya.
“kenapa smsku nggak di  balas?” Tanya Mira sesaat setelah dia ku persilakan masuk.

aku hanya mengangkat bahu. Pertanda aku tak tau apa pun. “kok Mira datang kesini” batinku. Aku bukan tak suka Mira datang ke rumahku. Tapi aku belum mempersiapkan kata yang tepat untuk menjawab pertanyaannya.

“sms aku dah kamu bacakan?” tanyanya lagi

“iya” jawabku singkat

Aku melihat raut wajah Mira yang agak kesal. Mungkin karena jawabanku kurang memuaskan baginya. Kami duduk di teras, Sembari menatap sepotong rembulan yang ikut nimbrung bersama kami. Aku memulai pembicaraan. “kenapa kamu kirim sms kayak gitu?”

“Rin, aku tau kalau sekarang kamu lagi galau kan?” tebak Mira dengan senyum kecutnya.

“sok tau” jawabku datar

“ada apa sich, Rin? Cerita dong?” tanyanya penasaran. Mira terus memaksaku menceritakan kesedihanku. Sampai akhirnya dia berkata “aku siap mendengar curhatmu”. Akhirnya aku menceritakan semuanya. Tentang dion yang memutuskan hubungan denganku tanpa alasan yang jelas. “aku benar-benar sedih, Mir. aku sangat sayang sama dion, tapi kenapa dion tak tulus sayang padaku?” curhatku pada Mira.

“kamu udah cari tau alasan dion?” Tanya Mira

“belum” jawabku. “semenjak malam itu, aku tak pernah lagi liat dion di kampus. Hpnya juga nggak aktif. Dia juga tak pernah lagi menghubungiku” sambungku panjang lebar.

“gimana kalu kamu pergi ke rumahnya. Siapa tau kalau kamu kesana kamu bisa tau alasan dion ninggalin kamu”. Mira menasihatiku penuh semangat. “nah dengan begitu mungkin kadar kesedihanmu akan berkurang.” tambahnya lagi.

Aku diam sesaat. Membayangkan semua kemungkinan yang akan terjadi ketika aku tau alasan dion. “kamu temani aku kesana, ya” pintaku. “iya” Mira mengiyakan. “oke kalau gitu, saya balik dulu ya. Salam buat ibumu.” Tambahnya.

malam makin tua. Aku membaringkan tubuhku di atas kasur empuk yang telah lama menjadi tempat favoritku. Tempat yang bisa memberiku mimpi tentang kisahku yang masih misterius. Ku pandangi langit-langit kamarku. “besok aku mau ngomong apa kalau ketemu dion?” pikirku. Belum sempat aku memikirkan apa yang akan terjadi besok. Sepasang mataku tak ingin lagi terjaga sepanjang malam. Ingin rasanya malam cepat berakhir. Aku sudah sangat ingin bertemu dengan dion. Sang pujaan hatiku.
*
Fajar menyapaku dari celah-celah jendela kamarku. Terdengar nyanyian merdu pipit di atas dahan pohon depan jendelaku.  Ku sambut pagiku dengan keceriaan mereka. senandung merdu menyamangatiku pagi ini. Namun, masih ada rindu yang menemani. Masih ada sedih yang menyambangi. “hari ini, aku harus tau semua misteri di balik sikap dion malam itu.” Ujarku menyemangati diri sendiri. “apa pun yang aku dapatkan nanti, aku akan terima semua. Walaupun alasan dion karena ingin bersama wanita lain, aku harus rela. Aku harus kuat.” Tambahku menggebu.

“Erina …” teriak Mira di depan pintu rumahku.
“iya.. tunggu” teriakku dari dalam rumah.
“kamu siap?” tanyanya

Menghela napas dalam-dalam. “iya, aku siap. Apa pun yang terjadi aku siap.” Semangatku menggebu.

Kami mengendarai motor matic yang biasa aku gunakan ke kampus. Jalan raya cukup lengang pagi ini. Motorku melesat kencang. Tak cukup sulit melesatkan motor sekencang ini. Kami tidak memakan banyak waktu di jalan raya. Aku mengehentikan motorku tepat di depan rumah berpagar putih. Tepat di depan rumah Dion.

“ayo masuk!!” kata Mira. Mira menarik lenganku agar tidak terlalu lama berdiri di samping motor yang telah aku parkir. Kami menengok ke dalam pagar, berharap ada orang yang bersedia membukanya.

Aku melihat seseorang yang sangat mirip dengan dion. dia membuka pagar dan menghampiri kami. “cari siapa, ya?” tanyanya. Aku hanya terpaku melihat orang yang ada di depanku. “dion?” pekikku. Dia hanya diam. Aku lihat raut wajah heran terlukis di wajahnya.

“maaf, kalian cari siapa?” dia mengulang pertanyaannya.
“kamu nggak ngenalin, aku?. Aku Erina, pacar kamu?” kataku mengingatkannya.
“pacar?” dia terheran-heran dengan pengakuanku. “Erina?” dia seperti mengingat sesuatu. “Oh, jadi kamu yang namanya Erina?” sekarang dia yang membuatku heran. Dia tidak mengenalku. Jelas-jelas laki-laki yang ada di depanku ini adalah dion.

“maaf, aku bukan dion.” ujarnya. “aku Raka, saudara kembarnya dion” tambahnya.
“Raka?” sontak aku kaget. Dion tak pernah bilang kalau dia punya saudara kembar. “apa dion ada di dalam?.” Tanyaku sambil menunjuk ke arah dalam rumah. “silakan masuk.” Dia tidak menjawab tapi menyilakan kami masuk ke rumahnya. Kami bertemu dengan ibu Dion dan raka. Lalu beliau menceritakan semua pada kami. Tentang keadaan dion selama beberapa bulan terkahir, hingga ia memutuskan berpisah denganku. “dion, udah lama sakit.” Aku terkejut. Dion sakit tapi tak pernah sekalipun dia mengatakannya padaku. “lalu, dion sekarang dimana tante.” Tanyaku sangat penasaran. Beliau tak menjawab. Aku lihat hujan telah menggenag di pipi ibunya.

“ikutlah denganku.” Pinta raka. “aku akan mebawa kalian bertemu dengan dion”. Kami tidak tau ke mana Raka akan membawa kami. “sebenarnya kamu mau bawa kami ke mana?” tanyaku penasaran. “ke tempat tinggal dion.” jawabnya. “tempat tinggal dion?, emangnya dion nggak tinggal bersama kalian?” Tanya Mira heran. mira menoleh padaku, dia ingin tau maksud raka sebenarnya. Dan aku hanya menggeleng kepala.

“kok kita ke sini?” tanyaku heran. Raka hanya diam, dan terus berjalan masuk ke pemakaman. Kami berdiri tepat di atas tumpukan tanah yang masih belum kering seutuhnya. “Di sini.” Kata raka sambil menunjuk tumpukan tanah di hadapan kami. “di sinilah dion tinggal sekarang.” Kata raka. Ada rasa takut yang seketika menggelayuti hatiku. Ku tatap seksama nisan yang tertanam di atas tanah liat itu. Seketika sepasang mataku telah membanjiri kedua pipiku. “dion” lirihku.

Aku tak dapat menahan air mataku. Aku menangis di atas tumpukan tanah liat ini. “dion, kengapa kamu ninggalin aku.” Hatiku pedih. “kenapa kamu tidak pernah bilang ke aku, kalau kamu sakit.” Ada rasa bersalah dalam hatiku. Aku tidak pernah tau sakit yang di derita dion. ia menyimpan sendiri sakit yag di alaminya. Dan aku tak bisa membaca sesuatu pada diri dion. aku benar-benar merasa sangat bersalah. Aku hanya memikirkan diriku sendiri.

“Erina … sabar ya.” Mira mencoba menenangkanku. Air mata terus meluber dari sepasang mataku. Ada penyesalan dan rasa bersalah yang sangat sulit aku hindari. “sekarang, kamu nggak marah lagi kan sama dion?” Tanya raka. “kamu harus mengikhlaskan kepergian dion. dan kamu jangan sedih lagi. Dion juga pasti akan sangat sedih melihatmu terus tenggelam dalam kesedihan.” Sambung Raka.

Aku hanya diam. Hanya air mata yang dapat menjawab pertanyaan Raka. Matahari makin terik. Cuaca makin menyengat. Tapi aku seakan tak merasakan  panas sengatan mentari. Ku tatap nisan yang bertuliskan namamu. Ku peluk kau dari atas sini. Hatiku benar-benar remuk.

“dion, maafin aku. Ku harap kau tenang di labuhan terkahirmu. Dan aku juga berharap kau tetap tersenyum ketika kafan yang membungkusmu koyak termakan tanah. Aku relakan kepergianmu. Walaupun ada rasa yang masih tertinggal dalam hatiku. Aku akan menitipkan cintaku di sini bersamamu. Aku janji, takkan menangis lagi. Aku tak mau membuatmu sedih. Aku akan melanjutkan hidupku yang hampir habis karena memikirkanmu. Akan ku tata senyum agar hinggap di wajahku. Dion, maafin aku.” Aku makin terisak. Mataku makin sembab.

“ayo Rin, kita pulang” Raka menggenggam tanganku. Mengajakku beranjak dari pemakaman ini. Mataku masih sembab. “tangisku telah kutinggalkan bersamamu di sini. Sedihku telah kuterbangkan bersama angin. Semua kesedihanku turut ku tanam di sini. Bersamamu.” Batinku.

Matahari makin terik menjilati kulitku. Kulangkahkan kakiku meninggalkan kediamanmu. Ku balikkan pandanganku menatap nisanmu. “selamat tinggal” hatiku menangis.



Cermin :: Kisah Tak Berujung

Malam itu kau duduk tepat di depanku. Menatapku dengan sesimpul senyuman. Ketika ku balik menatapmu, kau buang pandanganmu ke tempat lain. Sedih rasanya. Ketika itu Q sangat berharap kau menyapaku. Tapi hanya diam yang ku dapat. Aku pun terdiam. Dan kita pun diam.
Aku tidak pernah tau bagaimana perasaanmu terhadapku. Kau tak pernah berusaha mengucapkan apa pun padaku. Aku hanya bisa mendapati dua bola matamu sedang menatapku. Seolah kau ingin mengucapkan sesuatu. Tapi tertahan di kerongkonganmu. Kau terus diam, hanya matamu yang sedang mengucapkan sesuatu yang tak bisa aku pahami. Aku tak pernah melihatmu sebelumnya. Dan aku tak pernah tau bahwa kau ada selama ini.
Aku tidak tahu, sudah berapa menit kau duduk disana dengan tatapan tertuju ke arahku. Aku sempat salah tingkah, tapi dengan cepat kuraih tingkah yang sewajarnya. Sekian menit, sekian detik. Entahlah aku tidak peduli. Aku juga tidak mengenal siapa kau. Aku sempat bertanya pada diriku sendiri siapa gerangan dirimu yang dari tadi menatapku.
Aku beranjak dari dudukku. Mencoba menjauhi pandanganmu. Aku berpikir keras, mengapa kau terus menatapku tanpa ada kata salam terucap dari bibirmu. Ini adalah awal pertemuan kita, Tanpa sengaja dan tanpa kebetulan.
Aku bertemu denganmu dirumah mbak riri. Salah satu kerabat yang cukup dekat denganku. Ternyata kau adalah teman mbk riri yang sedang berkunjung. Ketika ku coba memandangmu seraya ingin memberi salam, kau kembali sibuk dengan teman-teman disebelahmu. Dan itu membuat ku urung menyapamu. Mungkin aku malu atau apalah aku tidak tau.
Menit pun berlalu dengan angkuh, hanya tatapanmu yang menemani kunjunganku kerumah kerabatku itu. Aku sempat kesal, mengapa kau tak menyapaku. Apa itu artinya aku berharap kau menyapaku (huaa ngarep).
Tak ada hal lain yang aku pikirkan semenjak aku meninggalkan rumah mabk riri. Senyum dan tatapan matamu yang mencoba mencuri hatiku.
“mengapa dia terus menatapku seperti itu ya?” Tanya dalam benakku
Mungkin itu cara dia memperkenalkan dirinya pada seseorang, bukan sapa yang ia lontarkan tapi tatap yang ia berikan.
*
Hari berikutnya aku kembali berkunjung ke rumah mbak riri yang jarak rumahnya tak lebih dari 200 meter dari kediamanku. Aku kembali mendapatimu duduk di sofa biru rumah mbk riri bersama teman-temanmu yang lain. Lagi-lagi kau mengikuti langkahku dengan tatapanmu. Setelah kau dan yang lain pamit pulang, aku menanyakan tentangmu pada mbak riri. aku mengintrogasi mbak riri dengan pertanyaan yang sedari tadi ingin lompat dari kepalaku. Sekarang aku jadi tau siapa namamu. Akram, nama itulah yang mbk riri sebut di depanku. Dan ternyata, mbak riri menangkap sesuatu yang lain dari setiap tanya yang aku lontarkan padanya.
Aku bisa membaca pikiran mbak riri. Dia mencoba menebak-nebak alasan mengapa aku sangat ingin tau tentang cowok berbaju merah itu. Tebakannya tepat mengena padaku. “Apa mungkin aku menyukai laki-laki itu. Tapi kenapa, bahkan kami belum menyapa satu sama lain. Apa karena tatapannya telah menembus hatiku. (Walah, aku jadi mengahayal sendiri..hehehe). tadinya aku sempat berharap, dia meyapaku dengan salam bukan dengan tatap.(ah, apa aku sangat berharap dia menyapaku).
Mbak riri sempat menebakku. Dia bilang, aku suka sama akram saat pandangan pertama. Nyatanya memang seperti itu adanya. Aku bahkan tak bisa membohongi hatiku. Dan yang paling mengejutkanku, ternyata akram mencari tahu tentangku lewat mbak riri. Dia menanyakan nama dan status hubunganku. (waduh, aku semakin menghayal tingkat tinggi, nih.)
Sesaat setelah aku sampai dikediamanku. Aku terus berpikir mengapa dia menanyakanku. Apa dia juga suka sama aku saat pandangan pertama. Itulah pertanyaan yang ada dalam benakku. Tapi aku tak ingin berpikir macam-macam, satu macan aja uda bikin greget apa lagi seribu macan, hehehe.
*
Uda beberapa hari ini, aku nggak kerumah mbak riri. Aku juga tidak pernah melihatnya lagi. Tapi bayang wajahnya saat menatapku terus mengapung dikepalaku. Aku jadi berharap bertemu dengannya lagi.
Harapanku jadi nyata, saat aku melihatnya bersama mbak riri menghampiriku sedang duduk sendiri di meja paling pojok rumah makan dekat kampusku. Tadinya aku dan mbak riri memang uda janjian ketemu, tapi tak kusangka dia datang bersamanya.  aku sempat salah tingkah ketika dia menyapaku. (jadi nerveos sendiri,,heheh)
Kami bertiga duduk dalam satu meja. Aku sangat senang duduk semeja dengan akram. Apa yang dikatakan mabk riri dulu kalau aku suka sama akram itu benar. Buktinya saat ini hatiku berdegup tak karuan ketika dia mengobrol panjang lebar denganku. Aku berharap tukeran nomor handphone dengannya. Tapi, itu tidak terjadi. Kami hanya ngobrol, dan ternyata dugaanku salah. Ternyata dia ingin tau nomor handphoneku. Belum sempat aku sodorkan nomor handphoneku, perasaanku menjadi nggak enak dan tiba-tiba berubah, ketika aku melihat mabk riri menatap padaku,Sikapnya juga sedikit aneh Entah tatapan apa itu. Aku tidak mengerti dan itu membuatku jadi aneh.
aku belum sempat memberi nomor handphone pada akram, mbak riri buru-buru pamit dan menarik tangan akram, agar dia mau beranjak dari tempat duduknya. mereka pun berlalu dari pandanganku. Aku pun beranjak dari dudukku untuk pulang ke rumah. Sesampainya di rumah. Aku berPikir sangat keras, ada apa dengan tatapan mbak riri. Aku juga tidak sempat meminta penjelasan atas tatapannya itu siang tadi. Berbagai pertanyaan timbul dalam benakku.
“apa mbak riri, tidak suka kalau aku akrab dengan akram ?. Tapi mengapa ? bukankah dia sendiri yang menebak perasaanku kalau aku suka akram dan akram pun tampaknya suka denganku.” Benakku bertanya-tanya.
Beribu pertanyaan mengiringi langkahku menuju rumah mbak riri. Bersamaan dengan itu, bintang-bintang di langit malam pun turut mengikutiku dari atas sana. Aku tidak berniat meminta penjelasan atas tatapannya siang tadi. Aku anggap tidak terjadi sesuatu yang aneh. Dan seperti biasa aku ingin curhat tentang kisah baru yang akan aku jalani bersama akram. Namun, apa yang aku dapati. Aku mendengar pembicaraan mbak riri dan akram yang sedang berlangsung melalui telepon genggam yang menempel di daun telinganya.
Aku tersentak. Ada nada mesra yang terlontar dari mulut mbak riri. aku ingin mendekat, tapi ku urungkan. Jadilah aku seorang penguping?. Aku mendengar semua percakapan mereka. Memang agak samar-samar, mereka mengobrol lewat telepon genggam. Dan hanya ucapan mbak riri saja yang terdengar sangat jelas di telingaku.   
Aku tidak ingin terlalu lama menguping pembicaraan mereka. Aku beranjak dari tempatku bersandar. Aku ingin mencerna dengan baik, sesuatu yang aku dengar tadi. Aku berjalan lunglai menuju kediamanku.
Aku tidak mempedulikan tegur ibuku, ketika melihatku berjalan lunglai. Aku segera masuk ke kamarku. Ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi antara mabk riri dengan orang yang ku suka. Aku pandangi langit kamarku. Aku menatap keluar jendela. Ku dapati bintang dan bulan dengan damai berdampingan. Ingin ku utarakan isi hatiku pada mereka. ada apa antara mbak riri dan akram. Namun, tak ada jawaban yang ku dapat.
Sebenarnya, apa yang aku kesalkan malam ini ?.  Aku kesal karena ternyata orang yang ku anggap kakak tega menghianatiku?.
“Kalau ternyata mbak riri suka dengan akram, mengapa dia malah seolah meyodorkannya padaku. Mengapa mbak riri nggak jujur ke aku?” Tanya dalam hatiku.
Beribu Tanya terngiang di kepalaku. Memikirkan sebab mbak riri berbohong. Ya, aku seolah dibohongi dan merasa dipermainkan. Apa aku sendiri yang ke-ge-eran ketika mbak riri menggodaku dan mengatakan kalau aku suka dengan akram.
Aku mencoba memejamkan mataku. Aku ingin terlelap tanpa memikirkan apapun, mbak riri ataupun akram.  Ku pandangi langit-langit kamarku, dan berharap aku sesegera mungkin masuk ke singgasana  mimpiku.
*
Pagi menjelang, menyembulkan cahaya kuning dikejauhan sana. Ku sambut fajar dengan sejuta Tanya di kepalaku. Ku buka jendela kamarku, terdengar kicauan merdu burung pipit di atas dahan. Seolah mereka tahu aku sedang dilanda kegalauan panjang. Mereka menghiburku dengan nyayian pagi yang menyenangkan. Sendu nyanyian pipit mengiringi pagiku yang mendung.
Aku tak berlama-lama berada di rumah. Segera menemui mbak riri dan meminta penjelasan tentang semuanya. Awalnya dia tak mengakui perasaannya sendiri. Tapi aku terus memaksanya hingga akhirnya dia mengaku kalu dia sebenanya suka dengan akram. Tapi, dia malu mengungkapkan perasaannya itu. Aku sekarang mengerti tatapan yang mbak riri lempar ke aku waktu itu.
“maafkan aku, Vika? Aku sebenarnya sudah lama suka pada akram, tapi aku malu untuk ungkapin perasaanku padanya. Aku takut di tolak? Ujarnya dengan nada sendu..
“lalu kenapa, mbak berbuat begitu ke aku,?. Apa yang mbak pikirkan sebenarnya waktu mbak menggodaku malam itu?” ada rasa marah dalam dadaku.
“maafkan aku, Vik.” Ada rasa sesal di setiap ucapannya. “aku tidak bermaksud untuk …”
“udahlah, mbak. Aku mengerti.” Aku memotong omongannya. Aku tak ingin mendengar apa pun lagi. Itu hanya akan membuat aku semakin marah. “tapi, harusnya bilang ke aku kalau sebenarnya mbak suka sama akram” ada rasa kecewa di hatiku.
Aku sedikit kecewa dengan pengakuan mbak riri. Ingin marah. Tapi aku tak berhak. aku bukan siapa-siapanya akram. tanpa berpikir panjang, aku memutuskan mengikhlaskan Akram untuk mbak riri.. Aku rela jika akram dan mbak riri pacaran. Ku biarkan mereka membangun bahtera cinta dan aku tak akan mencoba menghancurkan hubungan yang akan di bangun. Walaupun hatiku saat itu sudah tidak berbentuk lagi. Ada rasa kecewa, marah dan entahlah aku sudah tidak bisa menebak apa yang sedang dirasakan hatiku sendiri.
Sebenarnya aku masih berharap akram akan memilihku. Tapi, hati kecilku menasihatiku. Dia tidak membiarkan aku, merusak hubungan yang akan dibangun oleh mereka. Aku tak pernah sempat menanyakan perasaan akram terhadapku. Aku memang baru mengenalnya. Tapi dia telah membuat hatiku luluh. Dan sekarang hatiku remuk mendengar pengakuan mbak riri. dan ku relakan kisahku berhenti untuk melanjutkan kisah mereka. ku biarkan cintaku layu dan mati.
Sejak mbak riri mengakui perasaannya, aku tak pernah lagi mencari tau perasaan akram padaku. Aku tidak ingin menjadi orang ketiga di antara mereka. dan Semoga akram memiliki perasaan yang sama terhadap mbak riri, agar mabk riri tidak sakit hati jika cintanya bertepuk sebelah tangan dan aku tak ingin itu terjadi. Sungguh, aku tak ingin dia sedih.

Ku biarkan kisahku tak berujung. ku biarkan rasa ini mati dengan sendirinya, sampai seseorang hadir membangkitkan kembali rasa yang sengaja mati. Aku akan menunggu seseorang itu dan mengembalikan rasa yang sempat tertanam di hatiku. Dan membuatkan aku kisah baru yang lebih bermakna dan berkesan sampai hari menua hingga tak ada lagi kisah yang bisa  aku buat.

CerMin :: Selamat datang cinta

Semalam tidurku cukup nyeyak, sampai aku bermimpi bertemu dengannya. Dia berdiri di sana, entah dimana. Dia menatapku tanpa sepatah katapun terucap darinya. Tatapan yang langsung menusuk dalam hatiku.
Aku berdiri, entah dimana. Yang kulihat hanya pepohonan tinggi dan di penuhi dengan tanaman bunga yang sedang mekar. Dia menghampiriku. Berdiri di depanku. Dia hanya menatapku. Aku pun diam seribu kata. Cukup lama dia menatapku. Sampai terdengar suara ibuku membuyarkan semua mimpi indahku.
“tiara, bangun.. kamu gak kerja?” teriak ibuku sambil mengetuk pintu kamar.
“iya, bu... aku dah bangun” sahutku sambil menahan rasa kantuk yang masih tersisa.
aku berusaha membuka mata yang masih menyisakan kantuk semalam. “ternyata hanya mimpi, ya?” kataku sambil garuk kepala yang tak gatal. Aku tersenyum, entah kenapa aku begitu senang ketika dia menemuiku. Bahkan hanya dalam mimpi.
Aku beranjak dari tempat tidur favoritku. Dan bersiap bertemu dengannya. Eh maksudku bersiap untuk ke kantor..hehe. tapi aku berharap aku bertemu dia seperti dalam mimpiku.
“gak sarapan dulu, ra?” tanya ibuku ketika melihatku terburu-buru keluar kamar dan mencari kunci motorku.
“dah telat bu..” sahutku sambil menyalakan mesin motor yang telah terparkir di depan rumahku.
“kamu tuh ya,, makanya besok bangunnya jangan kesiangan.”
Aku hanya senyum “aku pergi dulu, bu.” Setelah berpamitan aku langsung menggas motorku ke jalan raya.
“Pukul 8 lewat” ku tatap jam tangan yang melekat di pergelanganku. ku parkir motorku, ku tengok kanan kiriku. “dia belum datang” kataku setelah aku tak melihat motornya terparkir dimanapun.
“lagi nyari sesuatu?” tiba tiba terdengar suara yang mengejutkanku.
“eh.... nggak ada kok” aku tersenyum ketika tahu suara yang datang adalah suara seseorang yang hadir dalam mimpiku semalam. Hatiku tiba-tiba berdegup gak karuan.
“terlambat, ya? Tanyanya
“kamu juga.”
“hehehe... iya” dia tersenyum membuat hatiku semakin gak karuan. Tak banyak percakapan yang tercipta. Kami meninggalkan parkiran dan menuju ke departemen masing-masing.
“ra, telat lagi?” tegur sesil setelah aku sampai di meja kerjaku.
“iya, soalnya bangunnya kesiangan.” Jawabku dengan wajah di sendukan.
“ wah,, ini yang harus aku selesaikan?” aku kaget melihat map yang menunggu akan diselesaikan menumpuk di atas mejaku.
Sesil hanya mengangguk. Dan melanjutkan pekerjaannya kembali.
“wajahmu hari ini kok berseri-seri banget, ya?” tanya sesil menggangguku.
“apa sih, sil?. Aku sedang bekerja nih.” Sesil adalah teman kantor yang  akrab denganku. Secara dia adalah teman sekampusku dulu. Dan dia yang merekomedasikan aku masuk di kantor ini.
“hmmm.. gk mau jawab. Awas ya kalau mau curhat gak mau denger?” sesil mengancamku
“iya..iya... jangan gitu donk...nanti aku cerita”
“siiiipppp”. Kami melanjutkan pekerjaan kami sampai jam makan siang memanggil.
Kami duduk di kantin kantor dan memesan makanan favorit kami. Semangkok bakso dan segelas teh dingin. “sil, tadi aku ketemu arham di parkiran loh !!!” kataku memulai pembicaraan.
“terus dia bilang apa?” sesil merespon omonganku.
Aku paling suka menceritakan sesuatu pada sesil. Dia adalah sahabat sekaligus rekan kerjaku.
“jadi” tanya sesil penasaran yang entah apa maksudnya.
“jadi apa?’ tanyaku tak mengerti
‘‘dia ngajak kamu jalan gak?”
“nggak” Aku geleng kepala.
“ra, kamu suka sama arham? Jawab!!” tanya sesil menggodaku.
Entah kenapa pertanyaan sesil membuat aku tersipu malu, apa ini tanda kalau aku memang menyukainya. “aku gak tau” belum sempat aku menyambung omonganku seseorang menghampiri kami.
“boleh gabung gak?” tanyanya sambil menarik kursi lalu duduk di antara aku dan sesil.
“boleh..boleh” sesil dengan semangat meyilakan arham untuk bergabung dengan kami.
“wah.. kayaknya enak tuh makan bakso”
“iya, pesan aja ma mbaknya” kataku
Kami menikmati makan siang kami. Tak ada pembicaraan yang aneh-aneh antara aku dan arham. Apalagi kepada sesil...hehe
“oia, ra... ntar pulang kantor kamu kemana?” tanya arham ketika sesil beranjak ke toilet. Hanya tinggal aku dan arham duduk berhadapan.
“eh... gak kemana-mana, langsung pulang kerumah” jawabku
“lagi cerita apa, hayo?” sesil tiba-tiba muncul dan menggoda kami berdua.
“emang kami cerita apa?” tanya arham
“aku ganggu, ya. Sorry deh”
“gak, kok sil. Sensi banget sih.”
“oh.. gk papa kok. Ya udah lanjutin aja ceritanya. Aku mau lanjutin kerjaanku juga. Dah..”
Kepergian sesil, tak membuat aku dan arham menyambung cerita panjang lebar. Kami kambali pada kerjaan masing-masing, yang sebelumnya aku dan arham udah janjian ketemu besok sore di sebuah rumah makan.
“wah,,wah. Ada yang lagi jatuh cinta nih” sesil lagi2 menggodaku. “kalian ngomongin apa?’ tanya sesil penasaran.
“dia ngajak ketemuan” kataku dengan hati yang sedang berbunga.
“kapan, dimana, jam berapa?’ tanya sesil semangat.
“ada deh, rahasia?” aku tersenyum membuat sesil terlihat dongkol.
“iya deh. Terserah. Yang penting kamu bahagia.. aku juga bahagia”
Hari semakin sore. Pekerjaan yang sedari pagi menumpuk sekarang makin berkurang. Aku merapikan mejaku yang berantakan. Dan bersiap untuk pulang kerumah kesayangan.
“cie..cie yang besok mau ketemuan. Kebetulan besok kita liburkan?”
“Sil, aku seneng banget waktu arham ngajakin jalan.” Hatiku berbunga-bunga
“itu kesempatanmu buat ungkapin semua perasaan kamu pada arham.”
“aku harap, arham juga suka ma aku”
‘aku doain, moga kencanmu berjalan lancar.”
‘aamiin.”
Aku tak bisa tidur memikirkan peristiwa yang akan terjadi besok. Aku berusaha memejamkan mataku dan berharap malam cepat berakhir. Aku tak sabar bertemu dia.
*
Waktu yang ditentukanpun tiba. Aku masuk di sebuah rumah makan sambil menengok kesana sini. Mencari arham yang katanya sudah menungguku. Dia melambaikan tangan. Aku menghampirinya.
“maaf, uda nunggu lama.”
“ya, lumayan. Tapi nggak papa kok.”dia senyum dan menyilakan aku duduk.
Hatiku berdegup tak berbentuk. Dag..dig...dug. seandainya dia bisa mendengar suara hatiku, pasti dia akan tertawa. Aku harap dia tidak menangkap sesuatu yang aneh dari tingkahku saat ini.
“kamu cantik hari ini.” Dia membuka pembicaraan. Aku tersenyum malu “makasih.”
banyak percakapan yang terjadi antara kami. Dari hal sepele sampai ke hal yang membuat jantungku hampir copot. Dia mengungkapkan perasaannya padaku. Hal yang tak pernah ku duga tapi menjadi sebuah harapanku saat ini.
“sudah lama aku ingin katakan sesuatu sama kamu, tapi baru hari ini aku memiliki keberanian untuk ini, aku menyukaimu dan aku ingin selalu ada di dekatmu.” Katanya yang nyaris membuat hatiku menyembul keluar dari tubuhku.
Aku tersenyum, dan bertingkah sewajarnya, (ya, sedikit jaim gak papa donk...heheh). aku diam seolah-olah aku sedang menimang perkataannya. “sebenarnya,, aku juga suka sama kamu.” Kataku akhirnya. Dan bertepatan dengan itu, kami pun resmi jadian.
*
“akhirnya, kamu punya pacar juga” kata sesil ketika aku menceritakan semua padanya.
“kamu benar,,aku memang harus membuka hatiku untuk seseorang”
“baguslah, itu lebih baik dari pada menutup diri hanya karena rasa sakit yang dulu kau simpan sangat lama hanya akan membuat hidupmu tak berarti dan hampa. Masa lalu biarlah menjadi masa lalu dan cukup di simpan dan tak perlu di ungkap kembali” kata sesil panjang kali lebar.
“tumben kamu pinter, sil”
“enak aja, emang dari dulu aku pinter kok” sambil menjitak kepalaku.

Sesil memang benar, masa lalu hanya sebuah kenangan yang harus di simpan dalam kotak peti lalu di kubur dalam-dalam sampai mencium ujung bumi. Tak perlu di ungkap lagi dan tak perlu di ingat lagi. Sekarang aku akan menjalani hidupku yang baru dengan seseorang yang baru. Dan ku katakan pada diriku sendiri “selamat tinggal masa lalu, selamat datang cinta”.

Renungan sejenak

Amatilah pikiranmu, karena akan menjadi ucapanmu.
Amatilah ucapanmu, karena akan menjadi tindakanmu.
Amatilah tindakanmu, karena akan menjadi kebiasaanmu.
Amatilah kebiasaanmu, karena akan menjadi karaktermu.
Amatilah karaktermu, Karena akan menjadi nasibmu.
Di atas semua itu …
Amatilah dirimu ! karena hanya orang yang mengenal dirinya yang akan mencapai ketenangan diri yang sesungguhnya.
Hidup ini sering kali menipu dan meninabobokkan.
Sadarlah akan tiga hal, yatu siapa diri kta, dari mana kita berasal, dan kemana kita akan pergi.

Dan Rindu Pun Terabaikan

rimbunan rindu terkubur di hadapanku
Hanya batu nisan itu sebagai nama atas kematianku
Tidak ada lagi kata yang terjanjikan
Tak ada lagi nada yang teruntai merdu
Semua kelabu bersama hiruk pikuk kehidupanku
Semuanya akan pergi bersama waktu yang telah mati.
Hilang terabaikan
Hanya nama yang bisa  ku kenang

Karena jasad telah mati bersama rindu yang kau janjikan padaku

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.