Nyanyian rindu (bag. 3)

Semilir angin di penghujung senja, menyentuh relung hati yang membekudalam perih. Namun, kelembutan sapuan angin tidak membawa pengaruh apa-apa, apalagi tidak bisa membuat kebekuan itu mencair.

Sisa-sisa kesenduan semalam terlihat di kedua mata yang sedikit membengkak. Sepanjang malam aku masih menangis dan membawa tangisan itu ke dalam lelapnya bersama kelopak mata yang di paksa untuk terpejam.

Ketika itu ada ciuman kerinduan yang penuh kenyerian, karena sebenarnya merindu itu sebuah derita yang nikmat dalam penantian yang tak kunjung usai. Penantian yang tak pasti akan hadirnya cinta yang telah lama mempermainkan harap, menguras segenap rasa yang sanggup terkecap.

Bagaimana pun aku sudah berusaha untuk menghadirkan cinta baru. Namun, terasa sia-sia saja. Tapi aku masih kuat bertahan dalam kemarahan yang kian menyala.

Cinta itu memberi rasa perih pada pecintanya ketika perpisahan itu terjadi. Atau bahkan semua orang pasti merasakan apa yang tengah aku rasakan kalau mereka sempat mengalaminya.

Aku berusaha tegar meski akhirnya ketegaran itu berlinang dengan air mata.
Ada perih dalam jiwa ataupun duka yang mengundang air mata, serta keputusasaan ketika cinta itu sangat jauh untuk di raih.

Aku masih berdiri dalam keputusasaan. Seolah tidak peduli teriknya siang hari. Aku terus berdiri dalam peluh kerinduan.


Dan sepertinya, aku sangat bahagia dan lebih menikmati keindahan dalam tiap kenangan dari pada menjalani kenyataan yang kuhadapi sekarang. Rasanya aku membutuhkan banyak waktu untuk mengenang semua itu. 

Note :
tulisan ini hanya sebuah ringkasan dari novel yang pernah saya baca. sudah lama sih catatannya . :)

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.