Aku hanya menerka apa yang akan terjadi di sini, di antara hujan yang
mengguyur kota sore ini. Aku berharap ada tontonan menarik antara kau, dia, dan
kekasihmu. Dan aku akan berusaha tidak terlibat di dalamnya.
Tapi, entah apa yang ada dikepalaku dan di kepalanya. Melihat kau dan
kekasihmu berdiri berdampingan penuh cita di antara hujan sore ini.
Aku menangkap tatapannya begitu menusuk padamu. Seakan dia ingin mengungkapkan
sesuatu, namun tertahan di sela-sela kerongkongannya. Dan kau hanya memasang
tampang tak bersalahmu di depan dia dan juga di depanku. Seakan kami tak pernah
hadir dalam hidupmu.
“dia cuek banget” gumamku dalam hati
Mungkin di kepala dia ada kalimat yang sama denganku. Kesal, geram karena
di cuekin ma orang yang pernah singgah dalam kehiduan kami.
Aku melihat betapa senyum kekasihmu begitu murah dan ramah padaku dan
mungkin juga dia. Kekasihmu tidak tahu bahwa dua orang yang sedang berdiri di
dekat kalian adalah dua orang perempuan yang pernah berdiri berdampingan
denganmu dengan suka cita yang hampir sama.
Aku menangkap wajah bosan terpampang padanya. Pun juga aku, bosan melihat
kalian ketawa-ketiwi menanti hujan reda. Entah ini suatu kebetulan atau telah
direncanakan sebelumnya. Tapi siapa yang merencanakan pertemuan yang
membosankan ini. Menurutku. Qita terjebak di antara hujan yang menggila. Kita
berdiri tepat di halte depan kampus . berteduh dari rintikan hujan yang yang
tak tau kapan akan reda.
Aku coba mengalihkan pandanganku ke arahmu. Mencoba agar kau menyapaku.
Atau melempar sesimpul senyum untuk meneduhkan kebosananku. Tapi, tampaknya tak
ada tanda senyum itu di wajahmu. Senyum yang pernah membuat hatiku tertawan
olehmu. Kau seperti seseorang yang tak pernah kenal denganku.
“sombong sekali kamu” batinku geram
Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Ku dapati wajah perempuan yang
berdri tepat dengan tiag halte sepertinya geram padamu. Tatapannya tajam
menusuk. Namun, sepertinya kau tak merasa sama sekali.
Dan sepertinya, aku kenal dengan perempuan itu. “Bukankah dia Winda? Tanyaku
dalam hati.
Tepat saja, dia memag Winda. Winda yang masih berstatus kekasihmu saat kau berusaha mengisi kekosongan hatiku.
Apa kamu tak bertanya mengapa aku mengenal Winda?. Walaupun kamu tak ingin tau
aku akan memberi tahumu. Secara aku kan penulis yang baik hati, tidak sombong
serta rajin menabung (muji diri sendiri,,heheheh)
Aku tau Winda, tapi aku tidak mengenalnya. Aku tau dia dari akun
facebookmu yang lain. Kalian masih memasang status bertungan saat kau
mendekatiku. Aku pun menyelidiki dari tingakh lakumu saat menerima telepon.
Tingkahmu yang tertutup saat ku Tanya siapa yang menelepon. Jawabanmu yang kaku
saat ku Tanya siapa yang menelepon. Dan aku dapati sesuatu yang tidak
mengenakkan. Ternyata kalian memang masih pacaran waktu itu. Itu adalah sesuatu
yang sungguh sangat tidak menyenangkan. Dan tentu saja itu membuatku mundur (eh
ngapain mundur, maju aja belom..hehe).
“hmm…diakan masih jadian ma Winda. Kok udah ngedeketin aku. Gimana kalau
mereka udah putus mungkin bukan hanya aku yang dia deketin.” Ungkapku dalam
hati saat aku tau kalau kamu itu masih punya pacar. Mungkin kau akan mendekati
satu perempuan ke perempuan yang lain.
Kelihatannya tak ada tanda hujan akan reda. Langit di sudut jalan sana
makin mendung dan siap menumpahkan airnya di atas aspal ini. Matahari pun
enggan menyapa. Mendung masih saja selimuti langit sore ini.
“Aku sudah bosan di sini.” Geramku dalam hati. Aku tak sabar menanti
angkot datang dan membawaku pergi dari pemandangan kalian. Sebenarnya aku suka
ketika hujan turun. Aku bisa mencium aroma tanah yang basah. Tapi, saat ini aku
tak bisa menikmatinya. Mungkin, karena keberadaan kau , ben. Dan juga kekasih
barumu yang belum ku ketahui namanya.
Sepanjang jalan di penuhi air langit. Langit tak benrhenti menumpahkan
semua beban air yang telah lama di tampungnya. Dan diantara dentingan angin
yang berhembus. Aku ingin menyapamu. Tapi segera ku urungkan, saat kekasihmu
menaruh pandangannya ke arah kami. Kebetulan aku dan Winda berdiri berdampingan
dekat dengan tiang penyangga helte . Awalnya aku kira kekasihu menantapku.
Setelah ku selidiki ternyata kekasihmu sedang melirik ke arah Winda.
Ya.. kali ini aku harap ada tontonan menarik. kekasihmu melabrak Winda
yang sedari tadi menaruh pandang ke ke arahmu. Tapi, dia hanya melirik Winda
sesaat dan berbalik ke arah jalan raya yang sesak oleh air. Ternyata tidak terjadi apa-apa. Mungkin
kekasihmu orang baik jadi tidak menaruh curiga apapun .
Kita makin terjebak di antara hujan dan terkurung dalam kebisuan kita.
kau, aku, dan juga Winda. Hanya kau dan kekasihmu saja yang terlihat bercakap.
Padahal aku ingin ada perbincangan ringan antara kita, sambil menanti hujan
reda dan menanti angkot menjemput. Tapi tak ada satu katapun yang terucap dari
mulutmu untuk menyapaku atau sekedar menyapa Winda.
“kenapa angkot tak juga datang, bosan banget di sini.” Gumamku dalam hati
Aku lagi-lagi menerka. Mungkin pikiranku dan apa yang di pikirkan Winda
itu sama. Ingin segera beranjak dari tempat
ini Karena bosan melihat pemandangan kau dan juga kekasihmu.
Menit pun berlalu. Penantianku berakhir. Angkot berhenti tepat di depan
halte dan aku segera melesat naik di susul dengan Winda. Aku melihat kau
menatapnya sesaat setelah itu pandanganmu kembali tertuju pada sosok wanita
yang berada di sampingmu.
‘’kau membuatku kesal saja. Kau bahkan tak mencoba melirik ke arahku walau
sesaat” batinku geram
Sekarang hanya aku dan Winda di antara hujan sore ini. Duduk berdampingan
di atas angkot yang sedari tadi kami tunggu tanpa kau dan kekasihmu. Ya, hujan
kian menggema, mengguyur hingga senja pun enggan menampakkan dirinya. Ia
seperti terlelap dalam buaian mendung yang menenangkan.
Sesaat pandanganku jatuh ke arah Winda.
Ku tangkap wajah kekesalan di sana. Ada kekesalan yang tertahan di ubun-ubun.
Ketika Winda balik melirikku, ku buang pandanganku, menatap hujan dari luar
jendela yang berembun tipis. Tapi Hujan tak lagi deras, hanya rintikan-rintikan
hujan yang tersisa mengiringinku pulang.
Tiba-tiba ingatanku berlari kemasa pedekate kita dulu. Andai kau tau perasaanku saat itu. Ketika kau
mengutarakan semua perasaanmu padaku. Aku sangat senang. Kau begitu perhatian
dan sangat peduli padaku. Tapi, ketika tau kau masih bersama Winda, aku merasa
tak pantas menjadi orang ketiga di antara kau dan Winda. Aku berusaha menahan
perasaanku. Aku tak ingin menghancurkan benang kasih yang telah terjalin.
Aku tak ingin ada yang tersakiti. Namun kini, apa yang ku dapati. Benang
kasih yang enggan aku hancurkan dulu kini telah kusut dan putus terberai. Kau
telah putus dengan Winda dan sekarang kau menggandeng tangan perempuan lain.
Aku kecewa kepadamu. Aku juga marah terhadapmu. Dan aku tak pernah menyesal
dengan keputusanku untuk membiarkan kau dan Winda tetap bersama. Aku berusaha
mengokohkan hubunganmu dengan Winda. Tapi kau sendiri yang menghancurkannya.
Aku tak pernah tau sebab kalian putus. Kau yang mulai bosan atau dia tau jika
kau itu adalah penjelajah hati. Ingin
menjelajahi hati yang satu ke hati yang lain.
Ya.. biarlah itu menjadi sebuah cerita. Cerita yang tak perlu diungkap
lagi. Biarlah cerita ini hilang bersama air hujan yang telah mengering di atas
jalan aspal ini.
0 komentar:
Posting Komentar