Cermin :: Akhir Sebuah Cerita

Langit malam masih tampak indah dengan hiasan bintang warna-warni disetiap sisinya. Namun, hatiku saat ini tak seindah malam. Aku diselimuti rasa gundah dan gelisah yang dibuat oleh pikiranku. Mungkin, aku harus melupakan sosok indah itu. Bayangnya selalu mengiang dikepalaku dikala aku sendiri.

melupakanmu adalah hal yang terbaik untukku. Separuh pikiranku telah kau curi untuk membayangkanmu. Kau selalu terbayang dalam benakku. Tapi kamu memilih pergi. Namun, kau tetap ada bersemayan indah dalam kalbuku. Aku terus mengharapkanmu. Karena aku ingin bertemu denganmu sekali lagi.
Dan ketika gelap telah menampakkan keindahannya, sunyi dengan setia menyambutku hingga mata ini meleleh membanjiri rusukku. Sekali lagi, pikiranku mempermainkanku. Aku selalu dihadapakn pada perkara hati yang belum tentu membuatku tersenyum. Dan lagi, perasaan ini memperlakukanku dengan begitu manis ketika luka yang sengaja dibuatkan padaku.

“begitu bodohnya menanti mentari melambaikan senyum, seakan itu mampu mencairkan bongkahan es yang menyelimuti kisi-kisi hati. Bahkan berpikiran akan menjadi kolam ketika semua bongkahan es itu remuk oleh sengatan senyum mentari.” Gumamku lirih. Malam kian larut. Namun, mata ini tetap terjaga dalam dingin. Masih bermain dengan remangnya bintang di langit. Ku paksa mata ini terpejam. Ku paksa raga ini bersiap menapaki alam mimpi.
*
Aku masih tenggelam dalam sedihku. Walau fajar telah menyapaku. Dan daun masih juga terlelap hangat terselimuti embun. Aku belum mampu menghapus sosok itu dari kepalaku. Seseorang yang pernah mengisi kekosongan hatiku. Ku paksa tubuhku bangkit dan beranjak dari kasur empuk menuju kamar mandi. Ku basuh wajah sendu semalamku. Ku tatap di sebilah cermin. Ku tatap seksama inci demi inci wajah senduku. Tak ku lihat ada keceriaan di sana.

“inikah aku dengan segala kesedihanku” hatiku lirih

Ku awali pagiku dengan kekesalan. Kesal karena sedih ini terus saja mengikutiku. Tapi aku berpura-pura tidak peduli. Aku bersiap diri melakukan aktivitasku hari ini.  Ku langkahkan kakiku untuk bergegas ke kampus dengan terlebih dahulu harus memakai topeng ceria. Topeng yang harus ku perlihatkan pada teman seperjuanganku di kampus. Kampus terlihat ramai oleh mahasiswa yang akan menimba ilmu di sini.  Ku pandang jam yang bertengger di pergelanganku. Masih pukul 8. 15 pagi. Aku masih punya waktu untuk bergabung bersama teman-temanku. Sekedar berbincang atau bergosip ria.

Terlihat keceriaan yang tampak di wajah mereka yang dihiasi senda gurau. Tapi aku, sepertinya hening telah mendekapku erat hingga aku merasa sendiri di keramaian ini.  Jika diibaratkan, mereka seperti ilalang yang menari riang berlenggak-lenggok bersama angin. Sementara aku, seperti rumput yang hanya bisa menyaksikan tarian ilalang yang tak harus berkomentar apa pun.

Aku selalu saja seperti itu. Diam dalam keramaian canda karena sebagian hatiku telah dibungkam oleh sepi. Dan hening mendekap saat tawa disekelilingku. Tak pernah sekalipun ceria menyambangiku setelah kau memutuskan pergi. Tawa meninggalkan sudut jiwaku yang sepi dan membuat tangis begitu mudah menyelam ke dalam mataku. Tangis yang sebisa mungkin ku tahan diantara isak tawa ilalang yang menari di atas keceriaan mereka.

Aku benar-benar kehilangan. Kehilangan sosokmu, senyumku dan keceriaanku. Aku juga tak membagi kisah sedih ini pada siapa pun.  Ku biarkan kisah ini ku nikmati sendiri tanpa harus ada yang tau keadaanku. Tak ada keinginan untuk membuatnya lebih berkesan, selain memoles wajah senduku dengan senyum yang di paksakan.

Aku masih berdiri di samudera rindu. Waktu berjalan sangat cepat. Tak sadar, bintang telah hiasi dinding-dinding malam yang makin larut. Aku duduk di beranda rumahku. Ku pandangi sepotong rembulan. Ingin ku katakan padanya kalau aku sedang merindu. “Aku meridukanmu, dion” hatiku lirih.

“mengapa aku diperlakukan sedemikian rapuh, Tuhan. Kau melibatkanku pada konflik batin yang tak kunjung usai” lirihku dalam hati

Gundah masih saja melekat padaku. Aku tak pernah mencoba mencari tau kenapa kau memutuskan pergi. Ku tatap seksama mawar yang pernah kau titipkan padaku. Mawar yang kini telah layu. Seperti aku yang layu, terus tenggelam dalam badai air mataku. Aku masih berharap kau ada saat ini. Berdiri di hadapanku dan berkata “aku menyesal telah meninggalkan luka dihatimu”. Tapi itu adalah khayalan yang tak pantas aku dapatkan. “Khayalan tingkat nirwana” pikirku

Aku tak pernah punya firasat apa pun ketika kau ingin memutuskan hubungan kita. Malam yang indah, ketika kita duduk berdua di bawah sinar ranum rembulan, hari bahagia menurutku. Kita akan merayakan tiga bulan jadian kita dan  aku harus mendengar kata yang tak ingin aku dengar.

“boleh aku ngomong sesuatu sama kamu” katamu saat itu. Memecah kebisuan kita. Ada nada lirih di setiap ucapanmu.

“tentu saja, boleh” kataku. Ku tatap mata dion. Sepertinya Ada sesuatu yang  mengganjal di hatinya.

“Mmm … sebenarnya aku sangat bahagia bisa bersama dengan mu. Tapi …” dion menggantung omongannya dan mencoba menghela napas. Dia seakan sulit melanjutkannya, membuatku tidak mengerti dengan sikap yang ia tunjukkan.

“Tapi? sebenarnya apa yang ingin kamu bilang ke aku” aku memotong omongan dion sebelum ia menyambung omongannya kembali. aku menangkap sesuatu yang berbeda malam itu. Aku tak pernah melihat dion seserius ini.

“kita …”. Dion menguatkan hatinya. Dia kembali menggantung omongannya seakan tertahan disela-sela kerongkongannya.

“kita? sebenarnya kamu ingin ngomong apa?” tanyaku penasaran. Ada rasa yang berbeda ketika dion melontarkan kata itu padaku. Aku mencoba menenangkan hatiku sendiri.

“aku bahagia dengan kebersamaan kita. aku senang bersamamu. Tapi kita tak bisa melanjutkan hubungan kita lagi.” Dengan nada terbata dia mengucapkan sesuatu yang langsung membuat hatiku bergejolak. Kamu menghujam hatiku tepat di saat hubungan kita nyaris sempurna.

Aku tidak percaya dengan omongan dion. “kamu bercanda kan?” sepertinya sembilu telah mengiris-iris hatiku. aku mencoba menenangkan hatiku yang nyaris hancur. Aku tersenyum di antara rasa takut dan cemas.
“aku tak pernah bercanda kalau menyangkut perasaan” ujar dion. aku tau Dion tak pernah main-main kalau menyangkut soal perasaan. “tapi kenapa? Aku buat salah ke kamu?” tanyaku

“nggak… kamu sempurna di mataku. Tapi aku tidak tulus sayang sama kamu, Rin …”

“a… apa…” aku semakin tidak percaya dengan omongan dion. hatiku semakin tak berbentuk. Ada rasa marah dan bingung berkecamuk jadi satu.

“aku nggak mau terus-terusan bohongin kamu. Itu hanya akan menyakitkan kamu”

“tapi aku tak pernah merasa tersakiti. Aku bahagia bersama kamu.” Hampir saja setitik salju meluncur keluar dari dua bola mataku. Tapi sesegera mungkin ku tahan agar tak tampak betapa nyeri hatiku malam itu.

“aku minta maaf, Rin.” Ada nada sendu disetiap ucapannya.

“kenapa … kenapa kamu baru bilang sekarang. Kenapa nggak dari dulu kamu bilang semua ini padaku.” Ada rasa marah yang membuncah padaku seakan rasa marah itu telah sampai diubun-ubun.

“maafkan aku. Rin…”

“cukup. kamu telah berhasil mengoyak hatiku. Sekarang kamu bahagia kan?” setetes hujan telah membanjiri sepasang mataku. Aku beranjak dari dudukku dan bersiap meninggalkan sepotong cintaku yang telah hancur berkeping-keping.

Bila yang tertulis untukku adalah hal terbaik bagimu
kan ku jadikan kau kenangan yang terindah dalam hidupku
namun tak kan mudah bagiku meninggalkan jejak hidupku
yang telah terukir abadi sebagai kenangan yang terindah …

Ponsel yang sedari tadi menemaniku bernyanyi merdu. Memecah semua lamunan sedihku. Kutatap layar hpku. “ada sms.” batinku. Ku baca seksama pesan yang masuk. “kamu tak harus larut dalam kesedihan. Kamu juga tak harus menyianyiakan air matamu meluber membasahi setiap pori kulitmu. Tak perlu mengingat lagi seseorang yang telah sengaja memberi luka pada setiap sisi hatimu yang senantiasa kamu jaga. Kamu juga tak harus meyimpan sendiri semua kekesalan dan kesedihan yang melandamu. Ada aku. Jika kamu masih menjadi sahabatmu. Aku akan menjadi pendengar yang baik untukmu.”

Aku tersentak membaca setiap kata yang dikirim oleh Mira. Walau sebenarnya, kata-kata yang di lempar Mira, cukup menghibur hatiku yang lagi galau. Aku tidak tau mengapa Mira tahu kesedihanku. Dia adalah sahabat kecilku. Aku tidak membalas pesan yang ia kirim.  Bukankah sudah ku bilang, aku tak ingin membagi sedih ini pada siapa pun..
Ku tatap layar hpku. Aku tak tau harus mengetik apa. Tak ada kata apa pun yang ingin melompat dari kepalaku. Hanya tatapan kosong tertuju pada layar putih hp yang ada di genggamanku. Belum sempat aku mengetik beberapa kata untuk membalas smsnya. Sosok Mira terlihat berdiri depan pagar. dia mencoba membuka pagar yang berdiri kokoh di depan rumahku. Dia memanggilku berharap aku membukakan pintu untuknya.
“kenapa smsku nggak di  balas?” Tanya Mira sesaat setelah dia ku persilakan masuk.

aku hanya mengangkat bahu. Pertanda aku tak tau apa pun. “kok Mira datang kesini” batinku. Aku bukan tak suka Mira datang ke rumahku. Tapi aku belum mempersiapkan kata yang tepat untuk menjawab pertanyaannya.

“sms aku dah kamu bacakan?” tanyanya lagi

“iya” jawabku singkat

Aku melihat raut wajah Mira yang agak kesal. Mungkin karena jawabanku kurang memuaskan baginya. Kami duduk di teras, Sembari menatap sepotong rembulan yang ikut nimbrung bersama kami. Aku memulai pembicaraan. “kenapa kamu kirim sms kayak gitu?”

“Rin, aku tau kalau sekarang kamu lagi galau kan?” tebak Mira dengan senyum kecutnya.

“sok tau” jawabku datar

“ada apa sich, Rin? Cerita dong?” tanyanya penasaran. Mira terus memaksaku menceritakan kesedihanku. Sampai akhirnya dia berkata “aku siap mendengar curhatmu”. Akhirnya aku menceritakan semuanya. Tentang dion yang memutuskan hubungan denganku tanpa alasan yang jelas. “aku benar-benar sedih, Mir. aku sangat sayang sama dion, tapi kenapa dion tak tulus sayang padaku?” curhatku pada Mira.

“kamu udah cari tau alasan dion?” Tanya Mira

“belum” jawabku. “semenjak malam itu, aku tak pernah lagi liat dion di kampus. Hpnya juga nggak aktif. Dia juga tak pernah lagi menghubungiku” sambungku panjang lebar.

“gimana kalu kamu pergi ke rumahnya. Siapa tau kalau kamu kesana kamu bisa tau alasan dion ninggalin kamu”. Mira menasihatiku penuh semangat. “nah dengan begitu mungkin kadar kesedihanmu akan berkurang.” tambahnya lagi.

Aku diam sesaat. Membayangkan semua kemungkinan yang akan terjadi ketika aku tau alasan dion. “kamu temani aku kesana, ya” pintaku. “iya” Mira mengiyakan. “oke kalau gitu, saya balik dulu ya. Salam buat ibumu.” Tambahnya.

malam makin tua. Aku membaringkan tubuhku di atas kasur empuk yang telah lama menjadi tempat favoritku. Tempat yang bisa memberiku mimpi tentang kisahku yang masih misterius. Ku pandangi langit-langit kamarku. “besok aku mau ngomong apa kalau ketemu dion?” pikirku. Belum sempat aku memikirkan apa yang akan terjadi besok. Sepasang mataku tak ingin lagi terjaga sepanjang malam. Ingin rasanya malam cepat berakhir. Aku sudah sangat ingin bertemu dengan dion. Sang pujaan hatiku.
*
Fajar menyapaku dari celah-celah jendela kamarku. Terdengar nyanyian merdu pipit di atas dahan pohon depan jendelaku.  Ku sambut pagiku dengan keceriaan mereka. senandung merdu menyamangatiku pagi ini. Namun, masih ada rindu yang menemani. Masih ada sedih yang menyambangi. “hari ini, aku harus tau semua misteri di balik sikap dion malam itu.” Ujarku menyemangati diri sendiri. “apa pun yang aku dapatkan nanti, aku akan terima semua. Walaupun alasan dion karena ingin bersama wanita lain, aku harus rela. Aku harus kuat.” Tambahku menggebu.

“Erina …” teriak Mira di depan pintu rumahku.
“iya.. tunggu” teriakku dari dalam rumah.
“kamu siap?” tanyanya

Menghela napas dalam-dalam. “iya, aku siap. Apa pun yang terjadi aku siap.” Semangatku menggebu.

Kami mengendarai motor matic yang biasa aku gunakan ke kampus. Jalan raya cukup lengang pagi ini. Motorku melesat kencang. Tak cukup sulit melesatkan motor sekencang ini. Kami tidak memakan banyak waktu di jalan raya. Aku mengehentikan motorku tepat di depan rumah berpagar putih. Tepat di depan rumah Dion.

“ayo masuk!!” kata Mira. Mira menarik lenganku agar tidak terlalu lama berdiri di samping motor yang telah aku parkir. Kami menengok ke dalam pagar, berharap ada orang yang bersedia membukanya.

Aku melihat seseorang yang sangat mirip dengan dion. dia membuka pagar dan menghampiri kami. “cari siapa, ya?” tanyanya. Aku hanya terpaku melihat orang yang ada di depanku. “dion?” pekikku. Dia hanya diam. Aku lihat raut wajah heran terlukis di wajahnya.

“maaf, kalian cari siapa?” dia mengulang pertanyaannya.
“kamu nggak ngenalin, aku?. Aku Erina, pacar kamu?” kataku mengingatkannya.
“pacar?” dia terheran-heran dengan pengakuanku. “Erina?” dia seperti mengingat sesuatu. “Oh, jadi kamu yang namanya Erina?” sekarang dia yang membuatku heran. Dia tidak mengenalku. Jelas-jelas laki-laki yang ada di depanku ini adalah dion.

“maaf, aku bukan dion.” ujarnya. “aku Raka, saudara kembarnya dion” tambahnya.
“Raka?” sontak aku kaget. Dion tak pernah bilang kalau dia punya saudara kembar. “apa dion ada di dalam?.” Tanyaku sambil menunjuk ke arah dalam rumah. “silakan masuk.” Dia tidak menjawab tapi menyilakan kami masuk ke rumahnya. Kami bertemu dengan ibu Dion dan raka. Lalu beliau menceritakan semua pada kami. Tentang keadaan dion selama beberapa bulan terkahir, hingga ia memutuskan berpisah denganku. “dion, udah lama sakit.” Aku terkejut. Dion sakit tapi tak pernah sekalipun dia mengatakannya padaku. “lalu, dion sekarang dimana tante.” Tanyaku sangat penasaran. Beliau tak menjawab. Aku lihat hujan telah menggenag di pipi ibunya.

“ikutlah denganku.” Pinta raka. “aku akan mebawa kalian bertemu dengan dion”. Kami tidak tau ke mana Raka akan membawa kami. “sebenarnya kamu mau bawa kami ke mana?” tanyaku penasaran. “ke tempat tinggal dion.” jawabnya. “tempat tinggal dion?, emangnya dion nggak tinggal bersama kalian?” Tanya Mira heran. mira menoleh padaku, dia ingin tau maksud raka sebenarnya. Dan aku hanya menggeleng kepala.

“kok kita ke sini?” tanyaku heran. Raka hanya diam, dan terus berjalan masuk ke pemakaman. Kami berdiri tepat di atas tumpukan tanah yang masih belum kering seutuhnya. “Di sini.” Kata raka sambil menunjuk tumpukan tanah di hadapan kami. “di sinilah dion tinggal sekarang.” Kata raka. Ada rasa takut yang seketika menggelayuti hatiku. Ku tatap seksama nisan yang tertanam di atas tanah liat itu. Seketika sepasang mataku telah membanjiri kedua pipiku. “dion” lirihku.

Aku tak dapat menahan air mataku. Aku menangis di atas tumpukan tanah liat ini. “dion, kengapa kamu ninggalin aku.” Hatiku pedih. “kenapa kamu tidak pernah bilang ke aku, kalau kamu sakit.” Ada rasa bersalah dalam hatiku. Aku tidak pernah tau sakit yang di derita dion. ia menyimpan sendiri sakit yag di alaminya. Dan aku tak bisa membaca sesuatu pada diri dion. aku benar-benar merasa sangat bersalah. Aku hanya memikirkan diriku sendiri.

“Erina … sabar ya.” Mira mencoba menenangkanku. Air mata terus meluber dari sepasang mataku. Ada penyesalan dan rasa bersalah yang sangat sulit aku hindari. “sekarang, kamu nggak marah lagi kan sama dion?” Tanya raka. “kamu harus mengikhlaskan kepergian dion. dan kamu jangan sedih lagi. Dion juga pasti akan sangat sedih melihatmu terus tenggelam dalam kesedihan.” Sambung Raka.

Aku hanya diam. Hanya air mata yang dapat menjawab pertanyaan Raka. Matahari makin terik. Cuaca makin menyengat. Tapi aku seakan tak merasakan  panas sengatan mentari. Ku tatap nisan yang bertuliskan namamu. Ku peluk kau dari atas sini. Hatiku benar-benar remuk.

“dion, maafin aku. Ku harap kau tenang di labuhan terkahirmu. Dan aku juga berharap kau tetap tersenyum ketika kafan yang membungkusmu koyak termakan tanah. Aku relakan kepergianmu. Walaupun ada rasa yang masih tertinggal dalam hatiku. Aku akan menitipkan cintaku di sini bersamamu. Aku janji, takkan menangis lagi. Aku tak mau membuatmu sedih. Aku akan melanjutkan hidupku yang hampir habis karena memikirkanmu. Akan ku tata senyum agar hinggap di wajahku. Dion, maafin aku.” Aku makin terisak. Mataku makin sembab.

“ayo Rin, kita pulang” Raka menggenggam tanganku. Mengajakku beranjak dari pemakaman ini. Mataku masih sembab. “tangisku telah kutinggalkan bersamamu di sini. Sedihku telah kuterbangkan bersama angin. Semua kesedihanku turut ku tanam di sini. Bersamamu.” Batinku.

Matahari makin terik menjilati kulitku. Kulangkahkan kakiku meninggalkan kediamanmu. Ku balikkan pandanganku menatap nisanmu. “selamat tinggal” hatiku menangis.



0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.