Dilihat dari tradisi perkembangannya,
sastra bugis kuno menempuh dua cara, yaitu tradisi lisan (oral tradition) dan
tradisi tulis (literary tradition) dan keduanya ada yang berkembang seiring
dalam waktu yang bersamaan. Terkadang sebuah karya sastra terdapat dalam dua
tradisi, yaitu lisan dan tertulis. Ada diantaranya yang memiliki pertalian yang
cukup erat antara kedua tradisi tersebut sehingga tidak susah melacak
hubungannya, namun tidak jarang pula kedua tradisi yang ada tidak memiliki
hubungan sama sekali, seperti penemuan Fachruddin Ambo Enre (1983) terhadap
sastra galigo episode ritumpanna welenrenge (ditebangnya pohon welenreng).
Khusus sastra bugis kuno dalam tradisi
tulis sebagian naskahnya masih dapat dibaca hingga saat ini. Karya sastra
tersebut terekam dalam bentuk naskah tulisan tangan yang menggunakan bahan dari
berbagai jenis, misalnya, daun lontar, kertas, atau dari bambu. Karya sastra
bugis kuno berkembang melalui proses penurunan dari lisan ke tulisan, atau dari
lisan atau ke tulisan kemudian dilisankan lagi. Pustaka bugis kuno dalam bentuk
naskah ini kenyataannya telah mengalami penciutan dari waktu ke waktu. Hal ini
disebabkan untuk sastra tulis yang menggunakan daun lontar, bambu, atau kertas
sebagai bahan atau alas untuk menampung tulisan sudah banyak lapuk akibat di
makan usia; dan lebih diperparah lagi oleh cara penyimpanan yang tidak layak.
Sebagiannya hilang karena kecerobohan pemiliknya dan atau karena dimakan rayap,
tertimoa banjir, hangus terbakar api, dan sebagainya.
Pada dasarnya, masa pertumbuhan dan
perkembangan sastra bugis kuno itu oleh beberapa pakar dibagi menjadi tiga
periode yaitu : pertama, periode awal yang ditandai dengan munculnya karya
sastra bugis yang kemudian disebut sastra galigo. Masa perkembangannya
diperkirakan oleh beberapa pakar secara berbeda. Mattulada, misalnya
memperkirakan antara abad ke-7 hingga abad ke-10 sezaman dengan perkembangan
kerajaan-kerajaan Hindu di nusantara, seperti Sriwijaya, dan Syailendra.
Berbeda halnya dengan pendapat Fachruddin Ambo Enre yang memperkirakan sekitar
abad ke-14 atau masa perkembangan sastra galigo diduga sezaman dengan kerajaan
Malaka dan kerajaan Majapahit sebagaimana yang disebutkan dalam naskah galigo.
Perkiraan lain dikemukakan oleh Kern,
bahwa galigo dikarang sebelum agama islam menjadi panutan banyak rakyatdi
Sulawesi Selatan. Dalam hal ini, sebelum tahun 1600, karena tidak ditemukan
adanya pengaruh atau ajaran islam didalamnya. Sedangkan Mills memperkirakan
waktu penulisan galigo yakni awal abad ke-14, dengan mengambil dasar pada
beberapa kronik yang menyinggung cerita galigo sebagai dasar pemikiran
(Koolhof, 1994: 1; Mattulada, 1995: 402; Enre, 1993:31).
0 komentar:
Posting Komentar