PENGALAMAN DAN IMAJINASI DALAM KRITIK SASTRA


Pengalaman dan imajinasi merupakan dua elemen pokok dalam sastra, khususnya puisi. Oleh karenanya layak mendapatkan perhatian khusus dari setiap orang yang hendak berurusan dengan puisi. “Pengalaman” yang dimaksudkan disini ialah “pengalaman poetik”, yakni penghayatan kreatif yang melahirkan karya. Untuk itulah daya imajinasi memainkan peranan pokok, sebab imajinasi menjadikan pengalaman tidak hanya sempurna dan nyata bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang lain.
Pembaca selalu dihadapkan pada dua kenyataan dalam menikmati puisi. Pertama adalah kenyataan “dunia” sajak yang dihadapinya dan kedua, kenyataan “dunia” hidupnya. Dengan demikian, arti sajak berada dalam hubungan antara kedua dunia tersebut. Pertama, untuk mendekatkan dunianya pada dunia sajak diperlukan kerelaan melupakan dunianya. Kedua, mengkaryakan daya imajinasinya sebagai manusia. Apabila sikapnya telah terbuka, imajinasinya dengan sendirinya akan luas terbuka pula.
Dalam hal ini kiranya layak disayangkan bahwa buku bimbingan pemahaman dan penghayatan puisi masih sedikit jumlahnya. Di antara yang sedikit ini kita temukan buku berjudul Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Moderen, yang ditulis dan diterbitkan oleh pengarangnya sendiri –penyair dan sarjana sastra Rachmat Djoko Pradopo-. Dalam buku tersebut, dituangkan beberapa contoh analisis sajak Sitor Sitomorang yang berjudul Chathedrale de Chartress. Untuk jelasnya, di bawah ini akan kami kutipkan beberapa baris yang bersangkutan.
Dalam bagian ‘lapis arti’ antara lain ditulis sebagai berikut
-         “Kisah cinta” = kisah percintaan antar penyair dan kekasihnya.
-         “Di Pekan Kembang” = di tempat wanita-wanita ‘P’ menjual dirinya, ungkapan ini untuk memperhalus relitas yang kasar menjadi lebih sopan, supaya sesuai dengan suasana khusyuk berdoa (sembahyang)
-         “Di pagi buta” = pada waktu pagi yang gelap, di sini untuk melambangkan orang-orang pada waktu dalam kebutaan, tidak dapat membedakan baik dan buruk, karena lupa.
-         “Di musim bunga” = pada waktu para wanita ‘P’ bersolek menjajakan diri
-         “Mata remang” = orang samar-samar penglihatannya karena terbius oleh bawa nafsunya tak dapat melihat perbuatan yang buruk dan baik
Keterangan di atas dibuat atas bait ke-6 “Chathedrale de Chartress” yang berbunyi,
                   Demikianlah kisah cinta kami
                   Yang bermula dipekan kembang
Di pagi buta sekitar Notre Dame de Paris
                   Di musim bunga dan mata remang
Mengapa “dipekan kembang” adalah di tempat wanita-wanita ‘P’? apakah interpretasi ini didasarkan atas kenyataan di Yogyakarta, di mana “Pasar Kembang” identik dengan perkampungan perempuan lacur? Dan mengapa pula “dimusim bunga” diartikan “waktu para wanita ‘P’ bersolek menjajakan diri”? apakah ini juga karena pengaruh “dunia” Yogyakarta? ‘Kembang’ atau bunga diperjualbelikan dengan sangat laris. Bunga mempunyai arti tersendiri dalam kehidupan dan hati orang Eropa, denga adanya sebutan musim bunga bagi salah satu daru empat musim yang mereka miliki tiap tahunnya. ‘Musim bunga’ atau springs (Inggris) dan printemps (Prancis) adalah mahkota yang muncul dari bumi setelah musim dingin. Musim bunga yang sering disebut musim semi adalah gairah hidup baru dari alam yang sebelumnya tertidur lelap dalam kedinginan. Untuk menangkap arti ungkapan-unkapan macam itu tidak dituntut daya imajinasi luar biasa bagi orang yang pernah hidup di dunia yang menjadi konteks sajak tersebut. Justru bagi mereka yang tidak atau belum pernah hidup di dunia konteks sajak itu dituntutlah kerelaan belajar, mencari informasi, sikap terbuka, dan daya imajinasi yang besar. Dan justru inilah yang menjadi persoalan bagi para pembaca sastra, sebab mereka sering tidak hanya berbeda  tetapi bahkan bertentangan dengan dunia penyair dan puisinya.     
Uraian dalam diktat itu, masih pada bab yang sama, antara lain diteruskan dengan ‘norma yang keempat’. “Di samping seorang Kristen ia (penyair) penganut filsafat eksistensialisme, ternyata dari ucapannya:
          “ah, Tuhan, tak bisa lagi kita bertemu
           Sajak dalam doa bersama kumpulan umat”
Betulkah Sitor dapat digolongkan seorang penganut eksistensialisme yang berarti? Apakah sajak “Chathedral de Chartress” harus dibaca dalam konteks eksistensialisme Prancis? Ataukah ada kemungkinan lain berdasarkan pengalaman insaniah manusia di negeri asing? Seorang Kristen kalau tidak dapat berdoa dalam dan bersama umat, tidaklah berarti ia seorang eksistensialisme. Rasa tertinggal atau terasing di tengah umat ini akan semakin besar apabila orang itu dilanda rasa rindu pada orang yang dicintainya, entah itu kerabat, keluarga, atau negeri bersama adat istiadatnya. Apalagi kalau dalam rasa rindu tersebut orang merasa telah melakukan dosa yang tak dapat dikatakan pada orang lain. Kalau mau diadukan pada Tuhan di tengah jemaat itu rasanya tidak mungkin, sebab rasanya dengan upacara yang berlangsung dalam bahasa Inggris atau Perancis itu, Tuhan sedang sibuk mendengarkan doa umat dan tidak sempat mendengar doanya yang dalam bahasa Batak, Jawa, atau Indonesia.
          Dengan mengajukan contoh-contoh di atas, penulis ingin menunjukkan bahwa mengerti, menikmati, apalagi menilai sajak tidaklah mudah. Hal ini akan sangat berbeda apabila penyair menghadirkan konteks di luar dunia kita sendiri. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kelemahan daya imajinasi penikmat pribadi. Sebagaimana halnya penyair dapat menimba pengalaman poetiknya dari pengalaman factual, maka pembaca pun dapat menimba pengalaman estetiknya dari pengalaman factual. Pada dasarnya, pembaca sendirilah yang menentukan mampu tidaknya membaca dan menikmati sebuah puisi. Untuk menjadi pembaca yang baik, orang bukannya harus menggulati buku teori melainkan harus berani langsung menggulati dengan sepenuhnya daya, syukur kalau dapat secara mesra, karya-karya sastra dengan menggunakan seluruh daya-daya insaniahnya. Pengalaman kitalah yang akhirnya akan membina daya imajinasi yang sangat diperlukan untuk mengerti, menikmati, menilai puisi. Maka justru pengalaman membaca puisi inilah yang harus dibentuk dan dibina dalam pengajaran puisi, kalau para pelajar dan mahasiswa memang diharapakn dapat mengerti, menikmati, dan menilai puisi secara bertanggung jawab.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.